Posted by
Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka On 07:41:00 No comments
Oleh: Drs.H. D. Sirojuddin AR, M.Ag.
A. Iftitah
Inti ajaran Islam adalah tauhid. Kaligrafi yang kerap diistilahkan dengan
sebutan art of Islamic art (seninya seni Islam) mencerminkan inti ajaran
tersebut, merujuk kepada kelahiran dan perkembangannya yang menjauhkannya dari
ikonoklasme. Ciri-cirinya menonjol dari penampilannya yang abstrak, yang
karenanya kerap pula disebut ‘seni abstrak’, sehingga terjauh dari kemungkinan
gambaran-gambaran yang menjurus pada obyek syirik atau sesembahan semisal pada
seni patung atau seni suara dan tari yang kerap ‘tenggelam dalam pusaran siklus
hawa nafsu” sehingga pada titik ekstrem menjadi hampa akan makna dan
nilai-nilai moral.
Maka dalam perjalanannya, kaligrafi Arab yang lebih sering menjadi alat
visual ayat-ayat al-Quran, tumbuh tertib mengikuti rumus-rumus berstandar
(al-khat al-mansub) olahan Ibnu Muqlah yang sangat ketat. Standarisasi yang
menggunakan alat ukur titik belah ketupat, alif, dan lingkaran untuk mendesain
huruf-huruf itu mencerminkan “etika berkaligrafi” dan kepatuhan pada “kaedah
murni” aksara Arab. Terutama bagi pemula, berpegang teguh pada kaidah khattiyah
ini sangat penting. Mengetahui seluk beluk aliran kaligrafi dan tatacara
penulisannya tidak saja akan memperkokoh kredibilitas tulisan pada komposisi
yang serasi (insijam wa mu’alamah). Lebih dari semuanya, sang karya dapat
dipertanggungjawabkan sebagai hasil pencapaian yang utuh (al-ikhtira al-kamil).
Hasil dari ikhtiar tersebut, telah lahir aliran-aliran kaligrafi yang
beragam. Dimulai dari pengembangan al-aqlam as-sitah (Tsuluts, Naskhi,
Muhaqqaq, Raihani, Tawqi, dan Riqa’) di masa pemerintahan daulah Umayyah
sebagai era kebangkitan kedua pasca khat Kufi dan kaligrafi kursif kuno
sesudahnya. Dari enam gaya tulisan yang populer dengan sebutan Shish Qalam di
Persia ini berkembang pula ratusan gaya lain. Sampai abad 20, gaya-gaya
tersebut menunjukan fluktuasi perkembangan yang dinamis, meskipun kelahirannya
hanya meninggalkan sekitar tujuh gaya tulisan modern: Naskhi, Tsulutsi, Farisi,
Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah. Gaya-gaya tulisan tersebut masih
berkutat pada standar system Ibnu Muqlah tanpa mengalami perubahan yang berarti.
Namun belakangan, muncul gerakan menjauhkan diri dari kebekuan
ikatan-ikatan baku di atas. Kreasi mutakhir yang menyimpang dari grammar lama
ini populer dengan sebutan kaligrafi kontemporer, merujuk pada gaya zaman
kiwari yang penuh dinamika dan kreativitas dalam mencipta karya yang serba aneh
dan unik.
Risalah ini bermaksud mengenalkan serba sedikit gambaran mengenai kaligrafi
Islam kontemporer dan rembesan pengaruhnya terhadap seniman lukis dan para
kaligrafer di Indonesia.
B. Pembatasan Masa Kontemporer
Meskipun kaligrafi dapat dimasukkan ke bagian seni rupa, namun tidak harus
mengikuti corak periodisasi seni rupa secara utuh. Kendatipun begitu, tidak
dapat disangkal bahwa gaya kaligrafi Islam “kontemporer”, “modern” atau
“masakini” tidak lepas dari perjalanan dan bias pengaruh seni rupa modern, yang
merupakan fenomena konsep dan realitas di tengah lalu lintas perjalaan seni
rupa di seluruh pelosok dunia.
Mungkin secara kebetulan, dalam proses perkembangannya, seni rupa modern
yang awalnya tumbuh di Barat, merembes ke Timur Tengah dan bagian-bagian dunia
Islam yang lain termasuk Indonesia. Abdel Kebir Khatibi dan Mohammed Sijelmassi
memprediksi adanya hubungan kuat Barat-Timur tersebut, karena tulisan yang
merupakan bagian dari seni grafis berhubungan erat dengan seni-seni lain
seperti menggambar, melukis, dan arsitektur. Di sini tulisan bergabung dalam
satu latar kesatuan unit media seperti dinding masjid atau kanvas lukisan. Oleh
karena itu, meskipun seni lukis tumbuh independen, kenyataannya secara konstan
mengikuti dan diikuti irama seni tulis secara kreatif.
Gejala ini muncul terutama tahun ’70-an dan berkembang lebih beringas di
tahun ’80-an yang diikuti oleh pameran-pameran yang meluas di Eropa dan
negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Namun, tanda-tanda dan yang mengarahkan pada model kaligrafi “bebas” atau
“dibebaskan” ini sudah berlangsung sebelum tahun-tahun tersebut dan tidak
semata dipengaruhi seni rupa Barat. Pertama, hasrat “perburuan” terhadap
penemuan-penemuan baru di kalangan khattat selalu menggebu yang sampai pada
titik kulminasi di mana kreasi ditujukan untuk mencapai karya-karya masterpiece
yang adiluhung. Selanjutnya, seni kaligrafi maju lagi kepada konsep kreatif
yang lebih filosofis di masa Turki Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam Persia
seperti Ilkhaniyah, Timuriyah, dan Safawiyah. Karya-karya unik ini menonjol
pada gaya Tugra dari Turki Usmani dan pola-pola animasi dari Persia. Kedua,
sifat plastis yang dimiliki kaligrafi Arab, memudahkan beradaptasi dengan
pengaruh-pengaruh luar yang memuncak dengan kehadiran pengaruh seni rupa Barat
di penghujung abad ke-20, terutama dalam titimangsa 20 tahunan terakhir.
Seni rupa Islam kontemporer, yang di dalamnya termasuk kaligrafi, menurut
kritikus dan kurator seni rupa Marwan Yusuf, memang bisa membuat masyarakat
terkejut, karena kehadirannya yang tiba-tiba populer di tahun ’70-an. Padahal
tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ide yang panjang. Jadi,
sejak penghujung dasawarsa 1970-an, seni kaligrafi Islam mulai dilanda oleh
semangat posmodernisme. Bahkan, jauh sebelum posmodernisme berkembang menjadi
jargon.
C. Corak Kaligrafi Islam Kontemporer
Kaligrafi Islam kontemporer merupakan karya “pemberontakan” atas
kaedah-kaedah murni kaligrafi klasik. Perkembangannya sangat pesat menjejali
aneka media dalam bentuk-bentuk kategori. Mazhab tersebut berusaha lepas dari
kelaziman khat atau kaligrafi murni yang banyak dipegang para khattat di banyak
pesantren dan perguruan-perguruan Islam seperti Naskhi, Tsulutsi, Farisi,
Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.
Di antara ciri-ciri “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan
kreatif yang menghasilkan gaya berbeda ini dapat disimpulkan dari
kemungkinan-kemungkinan berikut:
1. Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas pelukisnya, dengan
mengabaikan samasekali bentuk anatomi huruf khat murni. Bentuk ini merupakan
eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.
2. Merupakan kombinasi antara hasil imaji pelukis dengan gaya murni yang
sudah populer. Pada bagian ini, karya kontemporer masih mewarisi sedikit
warisan bentuk tradisionalnya.
3. Gaya kontemporer juga lebih mengarah kepada kecenderungan tema, yakni
karya dwi-matra (dua demensi) maupun tri-matra (tiga dimensi) yang menghadirkan
unsur kaligrafi “secara mandiri” maupun dilatari unsur lain dalam kesatuan
estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik. Wujud nyata
alam pada karya-karya dihadirkan melalui penggambaran nyata berupa pemandangan
benda-benda, peristiwa.
Corak-corak kaligrafi Islam kontemporer, karenanya, oleh Ismail dan Lamya
al-Faruqi dibagi kepada kategori-kategori tradisional, figural, ekspresionis,
simbolik, dan abstraksionis mutlak.
a. Kaligrafi Tradisional
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam pelbagai
gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian
kata “tradisional” menunjukan kesesuaian dengan tradisi khat masa lalu.
Pesan-pesan lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari hruf-huruf
ketimbang menampilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk figur-figur alam.
Meskipun demikian, terdapat juga kaligrafer tradisional yang melukis
kaligrafi dalam pola dedaunan atau motif-motif bunga dan pola-pola geometris.
Namun, efek keseluruhan karya kontemporer kaligrafer tradisional adalah
abstrak. Di antara pelukis kaligrafi dewasa ini yang mewakili kategori
tradisional adalah Said al-Saggar, Muhammad Ali Syakir, Ilham al-Said, Emin
Berin, Adil al-Sagir dan lain-lan.
b. Kaligrafi Figural
Kaligrafi kontemporer disebut sebaga “figural” karena ia menggabungkan
motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui pelbagai cara dan
gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga
yang dilukiskan atau dinaturalisasikan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak seni
kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan
dalam naskah-naskah al-Quran yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi
masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas
rumah tangga.
Dalam tipe figural, kerap terjadi “peleburan” huruf dalam seni lukis masa
lalu dan kontemporer. Dalam desain seperti ini, huruf-huruf diperpanjang atau
diperpendek, melebar dan menyelip atau diperinci dengan perluasan lingkaran,
ikalan atau tanda-tanda tambahan atau sisipan lain yang dibuat agar sesuai
dengan bentuk non-kaligrafis, geometris, floral, fauna atau sosok manusia.
Sayyid Naquib al-Attas merupakan salah seorang tokoh kaligrafer kontemporer
yang banyak menciptakan gaya peleburan kaligraf figural selain Sadiqayin dari
Pakistan.
c. Kaligrafi Ekspresionis
Kaligarfi “ekspresions” merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di
dunia Islam masa kini. Gaya ini, seperti karya-karya kaligrafi waktu-waktu
terakhir, berhubungan degan perkembangan-perkembangan utama dalam estetika
Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan “perbendaharaan kata”
warisan artistik Islam, namun mereka jauh berpindah dari contoh “grammar”
kaligrafi yang asli.
Dalam karya kaligrafi ekspresionis, pelukisnya berusaha menyampaikan pesan
emosional, visual, dan respon pribadi terhadap obyek-obyek, orang-orang atau
peristiwa yang digambarkan. Buland al-Haidari menggambarkan karya kaligrafi
ekspresionis sebagai usaha menggunakan huruf-huruf sebagai “penyaluran perasaan
dan gagasannya yang paling dalam, dan karena itu dipengaruhi oleh apa yang
hidup dalam kesadarannya”. Ia meyakinkan dalamnya pengaruh semangat Islam yang
mendorong tumbuhnya gagasan dan ilham mencpta sang kaligrafer yang tiada akhir.
Sebagian karya Hassan Massoud (Tunisia), Qutaba Shaikh Nouri Diya al-azawi
(Irak) mewakili orientasi seni khat jenis ini.
d. Kaligrafi Simbolis
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut
kaligrafi “simbolis”. Dengan memaksakan penyatuan melalui kombinasi makna-makna,
peranan huruf-huruf sebagai penyampai pesan dinafikan. Bukti dari akulturasi
semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafer kontemporer yang
menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau
ide-ide yang kompleks. Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang)
atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran obyek-obyek
asosasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khusus”nya.
Bagi sebagian kalangan, hampir semua huruf bisa dipahami secara simbolik
(metaforika), meskipun tidak disetujui sebagian yang lain.
e. Kaligafi Abstrak
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini disebut al-Faruqi dengan
julukan “Khat Palsu” atau “Khat Kabur Mutlak”, karena menunjukan corak-corak
seni yang menyamai huruf-huruf dan atau perkataan-perkataan tetapi tidak
mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya.
Dengan menafikan makna linguistik, huruf-huruf tersebut hanya menjadi unsur
sesuatu corak untuk “tujuan-tujuan” seni semata. Melalui penggunaan unsur-unsur
abjad yang berubah-ubah itu, ahli-ahli kaligrafi abstrak mempergunakan
huruf-huruf sebagai corak dan tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Muhammad Ghani, salah seorang tokoh aliran abstak, menggubah-gubah huruf
dengan membenturkannya dengan huruf-huruf sebelum dan sesudahnya, sehingga
meninggalkan kekosongan di kedua sisinya. Yang sangat aktif beruji coba dengan
tipe ini adalah seniman kaligrafi Islam kontemporer Tunisia, Naja al-Mahdawi,
Muhamad Saber Fauzi dan Hossein Zenderoudi (Iran), Kamal Boullata (Yerusalem),
Rashid Korishi (Algeria) dan al-Said Hassan Shakir (Irak) yang lebih banyak
menghasilkan “ukiran” mutlak daripada sesuatu yang dapat dibaca.
D. Pengaruh Luar Terhadap Kaligrafi Islam
Kaligrafi Islam kontemporer yang saat ini sering digabungkan dengan seni
rupa kontemporer telah menjadi fenomena internasinonal. Sebagaimana seni rupa
umumnya, ia pun berkembang bersama gelombang perubahan yang lebih luas, bahkan
acapkali melabrak batas-batas “grammar” yang sebelumnya disucikan.
Terseretnya khat Arab ke dalam arus perubahan yang dramatis ini disebabkan
oleh karena alphabetnya sangat toleran dijadikan (dan selalu mencakup)
“ekspresi segala sesuatu”. Sementara itu, searah kaligrafi sendiri sebenarnya
adalah sejarah penemuan dan perburuan gaya-gaya. Oleh Habibullah Fada’li
disebutkan, bahwa setiap gaya kaligrafi tunduk sepenuhnya terhadap eksperimen
dan modifikasi selama bertahun-tahun bahkan berkurun-kurun, sampai terbentuknya
pola yang benar-benar sempurna. Terutama semenjak tahun 70-an pengaruh
pemikiran dan orientasi Barat terasa sangat dominan, sehingga memberikan gaya
baru pada sosok kaligrafi Islam kontemporer. Bahkan menurut Samir al-Sayegh,
sampai detik ini pun kecenderungan lebih berkiblat ke Barat di kalangan
kaligrafer di kawasan Arab dan wilayah Islam lainnya sangat mencolok melebihi
perhatian mereka ke gaya seni Timur lampau. Akibatnya, karakter asli kerapkali
menghilang.
Kaligrafi eskpresionis, seperti jeniW-jenis gaya baru yang lain,
nyata-nyata berkaitan dengan gerakan estetika Barat. Ia adalah kesan dari
“pembudayaan” seni Islam dan artisnya oleh seni Barat akhir-akhir ini. Gaya
ekspresionis dalam kaligrafi Islam kontemporer, seperti dalam seni rupa
kontemporer, sering tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Karena
karya-karya para kaligrafer muslim kontemporer lebih mencerminkan tradisi seni
Barat, kaligrafi semacam ini menurut al-Faruqi sedikit sekali artinya dalam
upaya kebangkitan seni kaligrafi Islam.
Kaligrafi simbolik yang didominasi oleh gagasan dan ekspresi seni Barat
juga merupakan “penyelewengan” serius dari tradisi estetika Islam yang bersifat
transenden. Dalam kaligrafi ini, sekali lagi unsur-unsur kebaratan mempengaruhi
orientasi kesenian dan prosesnya. Hal seperti ini tidak seharusnya mengagetkan,
karena pilihan gaya pada kecenderungan seni rupa kontemporer bernafaskan Islam
tidak terbatas pada gaya kaligrafi dan abstrak formalisme, melainkan juga
mencakup gaya ekspresif, simbolis, dan instrumental (realisme maupun
surealisme). Oleh karenanya, kelahiran gaya semacam ini merupakan suatu
keniscayaan dan tidak mungkin dibendung.
Yang sangat santer adalah pengaruh “kebebasan penuh” ala Barat yang
menonjolkan pada garapan model kaligrafi “abstrak”, istilah yang menunjukan
kekaburan. Piet Mondrian dari Belanda adalah pelukis dan penyumbang terpenting
gerakan ini. Kehadiran gaya abstrak dalam kaligrafi Islam kontemporer,
sungguhpun bertentangan dengan unsur-unsur kreativitas seni yang diamalkan para
kaligrafer muslim berabad-abad lamanya, kini semakin ngetrend di kalangan
pelukis atau kaligrafer muslim kontemporer, terutama yang berhubungan banyak ke
Barat, baik melalui pendidikan maupun kegiatan pameran.
Nama-nama pelukis kaligrafi abstrak kontemporer yang sehaluan dengan
Zenderoudi seperti M. Omar, Benbella, Mahdoui, E.Ednan, dan Mehdi Qotbi
kelahiran Rabat, kini hidup di Paris. Kamal Boullata bekerja di Washinton DC
Ali Omar Ermes dari Libya Berstudi di London. Pergaulan dengan Barat para
pelukis tersebut dan pelukis-pelukis lainnya memberikan pengaruh kuat terhadap
gaya dan orientasi dalam karya-karya lukis kaligrafi mereka.
Bekal pengalaman hidup dan bergaul dengan seni lukis kontemporer Barat
tersebut lebih mendapat pengukuhan via pameran-pameran yang biasanya
menampilkan hasil karya kebudayaan Arab tradisional yang dipajang berdampingan
dengan komposisi-komposisi abstrak dan surealistik. Misalnya, pameran bersama
para seniwati Arab Saudi di Washington dan Fairfax, Virginia 1988, memancing
banyak perhatian pemerhati seni lukis modern. Pameran ini menyambung sambutan
atas pameran 64 pelukis Pakistan di London Centre for Pakistan Studies, 1987
yang luar biasa antusias. Pameran-pameran semacam dilangsungkan lebih sering,
bahkan terutama di kawasan Negara-negara petrodollar Timur Yengah seperti Arab
Saudi atau Abu Dhabi. Terakhir, 6 April sampai 7 Mei 1997, kaligrafer
kontemporer Kuwait Fareed Abdulrahem al-Ali memamerkn “Formations of the
revered word Allah”, di House of Zeinab Khatun al-Azhar Kairo, yang juga
“mencekam” perhatian penonton karena gaya-gaya “pemberontakan” yang
ditampilkannya. Fareed kembali menggelar karyanya di al-Qa’ah al-Kubra Abu
Dhabi 1-8 Oktober 1998 atas prakarsa Muassasah al-Tsaqafah wa al-Funun yang
disambut meriah.
Tambah maraknya kecenderungan baru berkaligrafi di tahun-tahun terakhir
mendorong dan didorong kreativitas menggebu para peluis kaligrafi Islam
kontemporer yang mencerminkan kecenderungan rata-rata sikap batin dan pikiran
mereka. Contoh paling mencolok adalah kaligrafer kontemporer Tunisia Naja
al-Mahdawi yang saban hari berujicoba huruf lebih dari 13 jam secara tekun. Di
antara ungkapan-ungkapannya yang paling “berani” adalah sebagai beriku :
“Huruf bagi saya adalah material hidup, yang darinya saya olah apa saja
sekehendak saya”
“Dalam teknik mengolah seni saya, saya kembali ke warisan secara alamiah,
namun saya musti keluar darinya. Kalau tidak, saya akan mati di sana”
Sikap Naja al-Mahdawi mencerminkan pandangan perlunya pengembangan
huruf-huruf supaya tidak statis, karena huruf-huruf itu sendiri menawarkan
kelenturan luar biasa. Sudah pasti sikap revolusionernya, yang oleh Charbal
Dagir disebut “permainan gila” (al-la’bah al-majnunah), tidak terlepas dari
pergaulan kesehariannya dengan model-model kreasi lukis gaya kontemporer Eropa.
Tata pergaulan semacam ini oleh kaligrafer muslim kontemporer, Hassan Massaoud
yang puya pergaulan erat dengan kehidupan seni Barat di Perancis, dianggap
sangat menemtuan. Ia bahkan menyebut tentang “tatacara melindungi kaligrafi
supaya terpelihara”, yaitu dengan menempatkan sang kaligrafer di tengah
masyarakat. Tidak dapat disangkal, jika masyarakat sepergaulannya adalah para
perupa Barat, maka akan lahir darinya adalah kreasi yang bemazhab atau
dipengaruhi mazhab Barat.
E. Lukisan Kaligafi Islami di Indonesia
“Lukisan kaligrafi” atau “kaligrafi lukis” mulai populer di Indonesia
terutama semenjak pameran pada MTQ Nasional XI tahun 1979 di Semarang. Pameran
yang lebih besar lagi diselenggarakan tahun 1980 bersamaan dengan Muktamar
media masa Islam se-dunia I di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Semenjak itu,
pameran-pameran semacam diselenggarakan secara rutin di kota-kota besar
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan pada pelbagai event penting di
kota-kota lain di Indonesia. Buah dari pergelaran-pergelaran yang melibatkan
para perupa ini telah memposisikan secara mantap seni lukis kaligrafi Islam
dalam konstelasi seni rupa Indonesia.
Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari
“kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaedah khattiyah
seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi, Diwani, Kufi dan Riq’ah. Lukisan kaligrafi
acap dihubungkan dengan rupa-rupa teknik penggarapan karya secara keseluruhan,
seperti teknik batik, teknik grafis, teknik ukir kayu, teknik logam dan
lain-lain dalam media dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang
beragam pula. Hasil garapan yang memadukan huruf dengan latar belakangnya
membentuk sebuah lukisan yang utuh, tidak hanaya tulisan terpisah.
Oleh karena itu, pengertian “lukisan” kaligrafi Islam di Indonesia tidak
selalu menunjuk kepada pembagian gaya-gaya kaligrafi dalam arti huruf seperti
kriterium al-Faruqi. Fokus “lukisan kaligrafi” di Indonesia “tidak hanya
selesai pada huruf”, tetapi kehadirannya memang sebagai lisan dalam arti yang
sesugguhnya, seperti dikemukakan pelukis kaligrafi Islami, Syaiful Adnan.
Kritikus seni rupa, Dan Suwaryono menandaskan, bahwa lukisan kaligarfi Islami
pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko
plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak,
sedangkan di pihak lain tuntutan-tuntutan yang cenderung ke arah ideo plastis
(meliputi semua masalah yang secara langsung ataupun tak langsung berhubungan
dengan isi atau cita perbahasaan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah,
bahwa lukisan kaligrafii di Indonesia tidak hanya menampilkan sosok huruf yang
dilukis, tetapi sebuah lukisan utuh di mana huruf menjadi salah satu elemennya.
Maka, lukisan kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia sangat kaya
varisasi, karena integral dengan rupa-rupa huruf tanpa memandang gaya
alirannya. Baik gaya kontemporer ataupun klasik baku, semuanya dapat menjadi
obyek garapan.
Pelopor mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) dikuti
oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Kehadiran mereka
memberi pengaruh sangat kuat terhadap kelahiran dan popularitas kaligrafi Islam
kontemporer di Indonesia. Terutama dua tersebut pertama adalah bidan kelahiran
mazhab Bandung yang dikenal sebagai “laboratorium Barat”, selain aktif mengajar
di Fakultas Seni Rupa ITB dan dikenal akrab dengan pergaulan seni rupa Barat
bahkan sangat sering berpameran di luar negeri. Ajaran-ajaran mereka dengan
cepat menyebar dan diikui para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di antara
“generasi kedua” sesudah mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hanbali,
Hendra Buana, Abay D. Subarna, Yetmon Amier dan kawan-kawan mereka seperti
Firdaus Alamhudi, Agoes Nugroho, Agus Kamal, Said Akram, Abdul Aziz Ahmad, dan
lain-lain dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.
Kini, bukan hanya para alumnus perguruan seni rupa, bahkan para pelukis dan
khattat yang tidak memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang
terjun ke “permainan” seni lukis kaligrafi gaya baru ini.
F. Ikhtitam
Kaligrafi Islam, dalam peta seni rupa Islam kontemporer, memberikan
sumbangsih yang sangat besar dan telah menimbulkan maraknya kegairahan
berkreasi dikalangan pelukis dan kaligrafer. Munculnya gaya kontemporer,
sungguhpun menimbulkan tanggapan pro-kontra, memberikan isyarat semakin
meningkatnya pencarian gaya-gaya baru untuk lebih melengkapi gaya-gaya masa
lalu.
Mengutip penyair India Rabindranath Tagore, al-khattat Kamil al-Baba dari
Libanon menulis dalam bab “al-Jadid fi Dunya al-Khath” (Yang Trendy dalam Dunia
Kaligrafi), bahwa perkembangan adalah sunnatullah dan hanyalah satu bagian dari
hukum alam yang berputar. Perkembangan adalah cermin kekekalan, seperti halnya
stagnasi atau jumud, adalah sebab pokok yang memperlekas fana. Dan kaligrafi,
dia adalah “lukisan huruf”, posisisnya tidak pernah mandek, bahkan terus
berkembang menyusuri waktu. Perkembangan yang juga disusuri kaligrafi Islam
kontemporer.
*Pimpinan Pesantren Kaligrafi Al-Quran LEMKA Sukabumi Jawa Barat, Staf
Pengajar Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Artikel
Terkait Lainnya :
Kaligrafi
Kontemporer
Artikel
Kaligrafi